PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Manusia
adalah makhluk individual, berbeda satu sama lain, karena sifatnya yang
individual maka manusia yang satu membutuhkan manusia yang lainnya sehingga
sebagai konsekuensi logisnya manusia harus menjadi makhluk sosial, makhluk
beriteraksi dengan sesamanya, selain itu manusia memiliki potensi, latar
belakang historis, serta harapan masa depan yang berbeda-beda. Dari adanya
perbedaan, manusia dapat silih asah (saling mencerdaskan), saling membutuhkan
maka harus ada interaksi yang silih asih (saling menyayangi atau saling
mencintai). Perbedaan antarmanusia yang tidak terkelola secara baik dapat
menimbulkan ketersinggungan dan kesalahpahaman antarsesamanya. Agar manusia
terhindar dari ketersinggungan dan kesalahpahaman maka diperlukan interaksi
yang silih asuh (saling tenggang rasa). Dalam dunia pendidikan, khususnya pada
jenjang pendidikan formal banyak dijumpai perbedaan-perbedaan mulai dari
perbedaan gender, suku, agama, dan lain-lain. Dari karakter yang heterogen
tersebut, timbul suatu pertanyaan bagaimana guru dapat memotivasi seluruh siswa
mereka untuk belajar dan membantu saling belajar satu sama lain? Bagaimana guru
dapat menyusun kegiatan kelas sedemikian rupa sehingga siswa akan berdiskusi,
berdebat, dan menggeluti ide-ide, konsep-konsep, dan keterampilan sehingga
siswa benar-benar memahami ide, konsep dan keterampilan tersebut? Bagaimana
guru dapat memanfaatkan energi sosial seluruh rentang usia siswa yang begitu
besar di dalam kelas untuk kegiatan-kegiatan pembelajaran roduktif? Bagaimana guru dapat
mengorganisasikan kelas sehingga siswa saling menjaga satu sama lain, saling
mengambil tanggung jawab satu sama lain, dan belajar untuk menghargai satu sama
lain terlepas dari suku, tingkat kinerja, atau ketidakmampuan karena cacat?
Model
pembelajaran kooperatif nampaknya merupakan jawaban atas pertanyaan tersebut.
Pembelajaran kooperatif adalah kerja kelompok yang terkelola dan
terorganisasikan sedemikian sehingga peserta didik bekerja sama dalam kelompok
kecil untuk mencapai tujuan-tujuan akademik, effektif dan sosial (Johnson dan
Johnson,1989). Dalam model pembelajaran kooperatif terdapat lima prinsip yang
harus tercermin didalamnya.. lima prinsip tersebut adalah : 1) saling
ketergantungan positif; 2) tanggung jawab perseorangan; 3) tatap muka; 4) komunikasi
antar anggota; dan 5)evaluasi proses kelompok (Lie, 2000). Dalam menyelesaikan
tugasnya, peserta didik yang satu membutuhkak peserta didik yang lain, karena
mereka bekerja dalam satu team. Masing-masing peserta didik memiliki tanggung
jawab untuk memberikan kontribusi pada kelompoknya. Peserta didik yang paham
terhadap salah satu tugas harus membantu peserta didik lain yang belum memahami
tugas tersebut. Demikian pula peserta didik yang belum paham harus meminta
penjelasan kepada yang telah paham. Mereka juga harus berinteraksi satu sama
lainnya melalui tatap muka dan komunikasi. Evaluasi dilakukan baik secara
individual maupun kelompok. Prinsip-prinsip pembelajaran demikian akan
mengeliminasi kompetisi yang menimbulkan krisis kepribadian seperti frustasi,
kecemasan yang berlebihan, dan rasa rendah diri yang berujubg pada motivasi
belajar yang rendah. Dari uraian diatas, nampak bahwa model pembelajaran
koopertif dapat menjadi solusi alternatif dalam mengurangi dampak krisis
kepribadian sebagaiman yang dikemukakan oleh Erikson.
B.
Rumusan
Masalah
1. Pengertian
pembelajaran kooperatif
2. Teori-teori
apa sajakah yang mendukung model pembelajaran kooperatif.
3. Langkah
– langkah pembelajaran kooperatif
4. Kelebihan
dan kelemahan pembelajaran kooperatif
5. Model-
model pembelajaran kooperatif
C.
Tujuan
1. Mengetahui
Pengertian pembelajaran kooperatif
2. Mengetahui
teori yang mendukung model pembelajaran
kooperatif.
3. Mengetahui Langkah – langkah pembelajaran kooperatif
4. Mengetahui
Kelebihan dan kelemahan pembelajaran kooperatif
5. Mengetahui
Model- model pembelajaran kooperatif
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Posamentier
secara sederhana menyebutkan cooperative learning atau belajar secara
kooperatif adalah penempatan beberapa siswa dalam kelompok kecil dan memberikan
mereka sebuah atau beberapa tugas.
Model
pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang didalamnya
mengkondisikan para siswa bekerja bersama-sama didalam kelompok-kelompok kecil
untuk membantu satu sama lain dalam belajar. Pembelajaran kooperatif didasarkan
pada gagasan atau pemikiran bahwa siswa bekerja bersama-sama dalam belajar, dan
bertanggung jawab terhadap aktivitas belajar kelompok mereka seperti terhadap
diri mereka sendiri. Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu model
pembelajaran yang menganut paham konstruktivisme.
Model
pembelajaran kooperatif adalah rangkaian kegiatan belajar yang dilakukan oleh
siswa dalam kelompok-kelompok tertentu untuk mencapai tujuan pembelajaran yang
telah dirumuskan.
Slavin
dalam Isjoni (2009: 15) pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran
dimana siswa belajar dan bekerja dalam kelompokkelompok kecil secara
kolaboratif yang anggotanya 5 orang dengan struktur kelompok heterogen.
Sedangkan menurut Sunal dan Hans dalam Isjoni (2009: 15) mengemukakan bahwa
pembelajaran kooperatif merupakan suatu cara pendekatan atau serangkaian
strategi yang khusus dirancang untuk memberi dorongan kepada siswa agar bekerja
sama selama proses pembelajaran.
Pembelajaran
kooperatif adalah model pembelajaran yang berfokus pada penggunaan kelompok
kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk
mencapai tujuan belajar (Sugiyanto, 2010: 37).
Agus
Suprijono (2009: 54) mengemukakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah konsep
yang lebih luas meliputi semua jenis kerja kelompok termasuk bentuk-bentuk yang
lebih dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh guru. Secara umum pembelajaran
kooperatif dianggap lebih diarahkan oleh guru, di mana guru menetapkan tugas
dan pertanyaanpertanyaan serta menyediakan bahan-bahan dan informasi yang
dirancang untuk membantu siswa menyelesaikan masalah yang dimaksudkan. Guru
biasanya menetapkan bentuk ujian tertentu pada akhir tugas.
Menurut
Slavin menyatakan bahwa pendekatan konstruktivis dalam pengajaran secara khusus
membuat belajar kooperatif ekstensif, secara teori siswa akan lebih mudah
menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka dapat saling
mendiskusikannya dengan temannya.
Dari
beberapa pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran
kooperatif merupakan pembelajaran dengan membentuk kelompok-kelompok yang
didasari dengan kerja sama dan setiap anggota kelompok harus bertanggung jawab
atas pembelajarannya agar tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Pembelajaran
kooperatif merupakan pembelajaran yang mengutamakan kerjasama antar siswa untuk
mencapai tujuan pembelajaran. Menggunakan pembelajaran kooperatif merubah peran
guru dari peran yang berpusat pada gurunya ke
pengelolaan siswa dalam kelompok-kelompok kecil. Menurut teori konstruktivis,
tugas guru (pendidik) adalah memfasilitasi agar proses pembentukan (konstruksi)
pengetahuan pada diri sendiri tiap-tiap siswa terjadi secara optimal.
B.
Teori-Teori Pendukung Model
Pembelajaran Kooperatif
Model
pembelajaran kooperatif memiliki basis pada teori psikologi kognitif dan teori
pembelajaran sosial (Arends, 1997). Fokus pembelajaran kooperatif tidak saja
tertumpu pada apa yang dilakukan peserta didik tetapi juga pada apa yang
dipikirkan peserta didik selama aktivitas belajar berlangsung. Informasi yang
ada pada kurikulum tidak ditransfer begitu saja oleh guru kepada peserta didik,
tetapi peserta didik difasilitasi dan dimotivasi untuk berinteraksi dengan
peserta didik lain dalam kelompok, dengan guru dan dengan bahan ajar secara
optimal agar ia mampu mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Dari uraian di
atas nampak bahwa guru bukanlah sebagai pusat pembelajaran, sumber utama
pembelajaran, serta pentransfer pengetahuan sebagaimana terjadi pada
pembelajaran konvensional. Pusat pembelajaran telah bergeser dari guru ke
peserta didik. Dalam model pembelajaran kooperatif, guru berperan sebagai
fasilitator, penyedia sumber belajar bagi peserta didik, pembimbing peserta
didik dalam belajar 4 kelompok, pemberi motivasi peserta didik dalam memecahkan
masalah, dan sebagai pelatih peserta didik agar memiliki ketrampilan kooperatif.
Teori yang menjadi pendukung model
pembelajaran kooperatif ini adalah:
a) Teori
Psikologi Kognitif-Konstruktivistik (Piaget dan Vygotsky)
b)
Teori Psikologi Sosial
(Dewey, Thelan, Allport, dan Lewin).
1. Teori
Psikologi Kognitif -Konstruktivistik
Jean
Piaget dan Lev Vygotsky merupakan dua ahli psikologi kognitif yang besar
sumbangannya dalam mendukung pengembangan pembelajaran kooperatif
(http://.users.muohio.edu/shermanlw/wolf_chapter-draft3-25.html).
Sumbangan
pemikiran dan penelitian dari kedua ahli tersebut serta kaitannya dengan model
pembelajaran kooperatif dijelaskan dalam uraian berikut.
a.
Teori Piaget
Piaget
(dalam Slavin, 2000) memandang bahwa setiap anak memiliki rasa ingin tahu
bawaan yang mendorongnya untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Baik
lingkungan fisik maupun sosialnya. Piaget meyakini bahwa pengalaman secara
fisik dan pemanipulasian lingkungan akan mengembangkan kemampuannya. Ia juga
mempercayai bahwa interaksi sosial dengan teman sebaya, khususnya dalam
mengemukakan ide dan berdiskusi akan membantunya memperjelas hasil pemikirannya
dan menjadikan hasil pemikirannya lebih logis.(Slavin, 2000). Melalui
pertukaran ide dengan teman lain, seorang anak yang sebelumnya memiliki
pemikiran subyektif terhadap sesuatu yang diamati akan merubah pemikirannya
menjadi obyektif Aktivitas berpikir anak seperti itu terorganisasi dalam suatu
struktur kognitif (mental) yang disebut dengan "scheme" atau pola
berpikir (patterns of behavior or thinking).
Berkaitan
dengan pandangan Piaget dalam hal pembelajaran, Duckworth (Slavin, 1995)
mengemukakan bahwa pedagogi yang balk harus melibatkan anak pada situasi di
mana anak mandiri melakukan percobaan, dalarn arti anak mencoba segala sesuatu
untuk melihat apa yang terjadi, memanipulasi tandatanda, memanipulasi simbol,
mengajukan pertanyaan dan menemukan sendiri
jawabannya,
mencocokkan apa yang la temukan dan membandingkan temuannya dengan anak lain.
b. Teori Vygotsky
Lev
Semionovich Vygotsky, seorang ahli psikologi Rusia memiliki kesamaan dengan
Piaget (ahli psikologi dan biologi dari Switzerland) dalam memandang
perkembangan kognitif anak Vygotsky memandang bahwa akuisisi "system
isyarat" (sign system) terjadi dalam sekuen tahapan yang invarian
untuk setiap anak sebagaimana disampaikan oleh Piaget. Namun, Vygotsky berbeda
dalam memandang "pemicu" perkembangan kognitif anak. Ia meyakini
bahwa perkembangan kognitif anak terkait sangat kuat dengan masukan dari orang
lain. Vygotsky mendasarkan karyanya pada dua ide utama. Pertama, perkembangan
intelektual dapat dipahami hanya bila ditinjau dari konteks pengalaman historis
dan budaya anak. Kedua, perkembangan bergantung pada sistem-sistem isyarat (sign
system) di mana ia tumbuh. Sistem isyarat mengacu kepada simbol-simbol yang
diciptakan oleh budaya untuk membantu orang bertikir, berkomunikasi dan
memecahkan masalah. Teori Vygotsky di atas mempunyai dua implikasi utama dalam
pembelajaran, yaitu, perlunya pengelola pembelajaran secara kooperatif dengan
pengelompokkan peserta didik secara heterogen dari sisi kemampuan 5 akademik,
dan kedua, pendekatan pembelajaran yang menekankan pentingnya scaffolding,
dengan menekankan pentingnya tanggung jawab peserta didik pada tugas
belajarnya. (Slavin, 2000). Vygotsky menekankan pentingnya peranan lingkungan
kebudayaan dan interaksi sosial dalam perkembangan sifat-sifat dan tipe-tipe
manusia. Menurut Vygotsky (Slavin, 2000), peserta didik belajar melalui
interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya yang lebih mampu. Interaksi
sosial ini memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual
peserta didik. Pada setting kooperatif, peserta didik dihadapkan pada proses
berpikir teman sebaya mereka. Tutorial oleh teman yang lebih kompeten akan
sangat efektif dalam mendorong petrtumbuhan daerah perkembangan proximal (Zone
of Proximal Development) anak.
Vygotsky
yakin bahwa tujuan belajar akan tercapai jika anak belajar menyelesaikan
tugas-tugas yang belum dipelajari tetapi tugas-tugas tersebut masih berada
dalam daerah perkembangan terdekat mereka. Daerah perkembangan terdekat adalah
tingkat perkembangan sedikit di atas tingkat perkembangan orang saat ini.
Zone of Proximal Development (ZPD) adalah jarak antara tingkat perkembangan
aktual, yang ditentukan melalui penyelesaian masalah secara mandiri dan tingkat
perkembangan potensial anak, yang ditentukan melalui pemecahan masalah dengan
bimbingan (scaffolding) orang dewasa atau teman sebaya. Menurut
Vygotsky, pada saat peserta didik bekerja didalam daerah perkembangan terdekat
mereka, tugas-tugas yang tidak dapat mereka selesaikan sendiri akan dapat
mereka selesaikan dengan bimbingan (scaffolding) orang dewasa atau teman
sebaya.
2. Teori
Psikologi Sosial
a. Teori John Dewey dan Herbert Thelan
Menurut
Dewey (Arends, 1997), kelas seharusnya merupakan cermin dari masyarakat luas
dan berfungsi sebagai laboratorium belajar dalam kehidupan nyata. Dewey
menegaskan bahwa guru perlu menciptakan sistem sosial yang bercirikan demokrasi
dan proses ilmiah dalam lingkungan belajar peserta didik dalarn kelas. Tanggung
jawab utama guru adalah memotivasi peserta didik untuk belajar secara
kooperatif dan memikirkan masalah-masalah sosial yang penting setiap hari.
Bersamaan dalam aktivitasnya rnemecahkan masalah di kelompoknya, peserta didik
belajar prinsip-prinsip demokrasi melalui interaksi dengan peserta didik lain.
Beberapa
tahun setelah Dewey, Thelan (dalam Arends, 1997) berpendapat bahwa kelas
haruslah merupakan laboratorium atau miniatur demokrasi yang bertujuan mengkaji
masalah-masalah sosial dan masalah antar pribadi. Thelan tertarik dengan
dinamika kelompok dan rnengernbangkan bentuk yang lebih rinci dan terstruktur
dari penyelidikan kelompok, dan mempersiapkan dasar konseptualuntuk
pengembangan pembelajaran kooperatif (Arends, 1997).
b.
Teori Gordon Allport
Aliport
(Arends, 1997) berpandangan bahwa hukum saja tidaklah cukup untuk mengurangi
kecurigaan dan meningkatkan penerimaan secara baik antar kelompok. Pandangan
Allport dikenal dengan "The Nature of Prejudice". Untuk
mengurangi kecurigaan dan meningkatkan penerimaan satu sama lain adalah dengan
jalan mengumpulkan mereka (antar suku atau ras) dalam satu lokasi, kontak
langsung dan bekerjasama antar mereka. Shlomo Sharan dan koleganya menyimpulkan
adanya tiga kondisi dasar untuk memformulasikan pandangan Allport untuk
mengurangi kecurigaan antar kelompok dan meningkatkan penerimaan antar mereka.
Tiga kondisi tersebut adalah: 1) kontak langsung antar suku atau ras; 2) dalam
seting tertentu, mereka bekerjasama dan berperan aktif dalam kelompok; 3) dalam
seting tersebut, mereka secara resmi menyetujui adanya kerjasama (Arends,
1997).
c.
Teori Kurt Lewin
Kurt
Lewin yang lahir pada tahun 1890 di Polandia ini dapat dipandang sebagai Bapak
Psikologi Sosial. (http://.users.muohio. edu/shermanlw/wolf_
chapter-draft3-25.html). Lewin sangat tertarik pada masalah-masalah pergerakan
yang dinamis dalam kelompok (group dynamics movement), terutama tentang
resolusi konflik sosial yang terjadi di antara para peserta didik. Dalam suatu
kelompok, ada duakernungkinan yang dapat terjadi, yaitu: mendorong penerimaan sosial
(promotesocial acceptance) atau meningkatkan jarak/ketegangan sosial (increase
social distance). Pandangan-pandangan Lewin tentang dinamika kelompok ini
kemudian dikembangkan oleh para peserta didikpeserta didiknya. D. Johnson, E.
Aronson, R. Schmuck dan L. Sherman adalah generasi ke-tiga dari Lewin (peserta
didik dari peserta didik Lewin) yang turut mengembangkan pandangan-pandangan
Lewin tersebut di atas.
Para
penerus Lewin mencari cara bagaimana memfasilitasi integrasi dan memajukan
hubungan antar manusia, mendorong demokrasi dan mengurangi timbulnya konflik.
Dari sini muncul berbagai strategi pembelajaran kooperatif. Para penerus Lewin
(terutama generasi kedua dan ketiga Lewin) mengembangkan berbagai teknik
pembelajaran kooperatif yang menggabungkan pandangan teoripsikologi sosial dari
Lewin dan psikologi kognitif. Deutsch (dalam Slavin, 1995)mengembangkan prinsip
"ketergantungan" (interdpendence), yang kemudian ia bagi
menjadi ketergantungan positip dan negatif. Johnson & Johnson mengembangkan
"creative conflict" dan Slavin dengan "group contingencies".
Banyak
hasil penelitian Lewin yang mengetengahkan pentingnya partisipasi aktif dalam
kelompok untuk mempelajari ketrampilan baru, mengembangkan sikap baru, dan
memperoleh pengetahuan. Hasil penelitiannya juga menunjukkan betapa
produktifnya kelompok bila anggota-anggotanya berinteraksi dan kemudian saling
merefleksikan pengalaman-pengalamannya. (Johnson & Johnson, 2000).
C.
Langkah-
langkah Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif merupakan model
pembelajaran yang mengutamakan kerjasama diantara siswa untuk mencapai tujuan
pembelajaran. Pembelajaran kooperatif memiliki ciri-ciri:
untuk
memuntaskan materi belajarnya, siswa belajar dalam kelompok secara bekerja sama
kelompok
dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah
jika dalam kelas
terdapat siswa-siswa yang heterogen ras, suku, budaya, dan jenis kelamin, maka
diupayakan agar tiap kelompok terdapat keheterogenan tersebut.
penghargaan
lebih diutamakan pada kerja kelompok daripada perorangan.
Tujuan Pembelajaran
Kooperatif
Hasil belajar
akademik , yaitu untuk meningkatkan kinerja siswa dalm tugas-tugas akademik.
Pembelajaran model ini dianggap unggul dalam membantu siswa dalam memahami
konsep-konsep yang sulit.
Penerimaan
terhadap keragaman, yaitu agar siswa menerima teman-temannya yang mempunyai
berbagai macam latar belakang.
Pengembangan
keterampilan social, yaitu untuk mengembangkan keterampilan social siswa
diantaranya: berbagi tugas, aktif bertanya, menghargai pendapat orang lain,
memancing teman untuk bertanya, mau mengungkapkan ide, dan bekerja dalam
kelompok.
Fase-fase Model Pembelajaran Kooperatif :
Fase
|
Indikator
|
Aktivitas Guru
|
1
|
Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa
|
Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada
pelajaran tersebut dan memotivasi siswa
|
2
|
Menyajikan informasi
|
Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi
atau lewat bahan bacaan
|
3
|
Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar
|
Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok
belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi efisien
|
4
|
Membimbing kelompok bekerja dan belajar
|
Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mengerjakan
tugas
|
5
|
Evaluasi
|
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah
dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya
|
6
|
Memberikan penghargaan
|
Guru mencari cara untuk menghargai upaya atau hasil belajar
siswa baik individu maupun kelompok.
|
D.
Kelebihan
dan Kelemahan Pembelajaran Kooperatif
1.
Kelebihan
Pembelajaran Kooperatif
Kelebihan
model pembelajaran kooperatif terdiri atas:
Dapat mengurangi rasa kantuk dibanding belajar sendiriJika belajar
sendiri sering kali rasa bosan timbul dan rasa kantuk pun datang. Apalagi jika
mempelajari pelajaran yang kurang menarik perhatian atau pelajaran yang
sulit.Dengan belajar bersama, orang punya teman yang memaksa aktif dalam
belajar.Demikian pula ada kesempatan bersenda gurau sesedikit mungkin untuk
mengalihkan kebosanan.
Dapat merangsang motivasi belajar
Melalui
kerja kelompok, akan dapat menumbuhkan perasaan ada saingan. Jika udah
menghabiskan waktu dan tenaga yang sama dan ternyata ada teman yang mendapat
nilai lebih baik, akan timbul minat mengejarnya. Jika sudah berada di atas,
tentu ingin mempertahankan agar tidak akan dikalahkan teman-temannya.
Ada tempat bertanya
Kerja
secara kelompok, maka ada tempat untuk bertanya dan ada orang lain yang dapat
mengoreksi kesalahan anggota kelompok. Belajar sendiri sering terbentur pada
masalah sulit terutama jika mempelajari sejarah.Dalam belajar berkelompok,
seringkali dapat memecahkan soal yang sebelumnya tidak bisa diselesaikan
sendiri.Ide teman dapat dicoba dalam menyelesaikan soal latihan. Jika ada lima
orang dalam kelompok itu, tentu ada lima kepala yang mempunyai tingkat
pengetahuan dan kreativitas yang berbeda. Pada saat membahas suatu masalah
bersama akan ada ide yang saling melengkapi.
Kesempatan melakukan resitasi oral
Kerja
kekompok, sering anggota kelompok harus berdiskusi dan menjelaskan suatu teori
kepada teman belajar.Inilah saat yang baik untuk resitasi.Akan dijelaskan suatu
teori dengan bahasa sendiri. Belajar mengekspresikan apa yang diketahui, apa
yang ada dalam pikiran ke dalam bentuk kata-kata yang diucapkan.
Melalui kerja kelompok akan dapat membantu timbulnya
asosiasi dengan peristiwa lain yang mudah diingat. Misalnya, jika
ketidaksepakatan terjadi di antara kelompok, maka perdebatan sengit tak
terhindarkan. Setelah perdebatan ini, biasanya akan mudah mengingat apa yang
dibicarakan dibandingkan masalah lain yang lewat begitu saja. Karena dari
peristiwa ini, ada telinga yang mendengar, mulut yang berbicara, emosi yang
turut campur dan tangan yang menulis.Semuanya sama-sama mengingat di
kepala.Jika membaca sendirian, hanya rekaman dari mata yang sampai ke otak,
tentu ini dapat kurang kuat.
2.
Kelemahan
Pembelajaran Kooperatif
Kelemahan
pembelajaran kooperatif bersumber pada dua faktor, yaitu faktor dari dalam (intern)
dan faktor dari luar (ekstern). Faktor dari dalam yaitu sebagai berikut.
a. Guru
harus mempersiapkan pembelajaran secara matang, disamping itu memerlukan lebih
banyak tenaga, pemikiran dan waktu;
b. Agar
proses pembelajaran berjalan dengan lancar maka dibutuhkan dukungan fasilitas,
alat dan biaya yang cukup memadai;
c. Selama
kegiatan diskusi kelompok berlangsung, ada kecenderungan topic permasalahan yang
sedang dibahas meluas sehingga banyak yang tidak sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan, dan
d. Saat
diskusi kelas, terkadang didominasi oleh seseorang, hal ini mengakibatkan siswa
yang lain menjadi pasif.
Slavin
(Miftahul, 2011: 68) mengidentifikasi tiga kendala utama atau apa yang
disebutnya pitfalls (lubang-lubang perangkap) terkait dalam pembelajaran
kooperatif sebagai berikut.
a. Free
Rider
Jika
tidak dirancang dengan baik, pembelajaran kooperatif justru berdampak pada
munculnya free rider atau “pengendara bebas”. Yang dimaksud free
rider disini adalah beberapa siswa yang tidak bertanggungjawab secara
personal pada tugas kelompoknya mereka hanya “mengekor” saja apa yang dilakukan
oleh teman-teman satu kelompoknya yang lain. Free rider ini sering kali
muncul ketika kelompok-kelompok kooperatif ditugaskan untuk menangani atu
lembar kerja, satu proyek, atau satu laporan tertentu. Untuk tugas-tugas
seperti ini, sering kali ada satu atau beberapa anggota yang mengerjakan hampir
semua pekerjaan kelompoknya, sementara sebagian anggota yang lain justru “bebas
berkendara”, berkeliaran kemana-mana.
b. Diffusion
of responsibility
Yang
dimaksud dengan diffusion of responsibility (penyebarantanggung jawab)
ini adalah suatu kondisi di mana beberapa anggota yangdianggap tidak mampu
cenderung diabaikan oleh anggota-anggota lain yang“lebih mampu”. Misalnya, jika
siswa ditugaskan untuk mengerjakan tugasIPA, beberapa anggota yang
dipersepsikan tidak mampu menghafal ataumemahami materi tersebut dengan baik
sering kali tidak dihiraukan olehteman-temannya yang lain. Siswa yang memiliki skill
IPA yang baik punterkadang malas mengajarkan keterampilannya pada
teman-temannya yangkurang mahir di bidang IPA. Hal ini hanya membuang-buang
waktu danenergi saja.
c. Learning
a Part of Task Specialization
Beberapa
model pembelajaran tertentu, seperti Jigsaw, GroupInvestigation, dan
metode-metode lain yang terkait, setiap kelompokditugaskan untuk mempelajari
atau mengerjakan bagian materi yang berbedaantarsatu sama lain. Pembagian
semacam ini sering kali membuat siswahanya fokus pada bagian materi lain yanng
dikerjakan oleh kelompok lainhampir tidak dihiraukan sama sekali, padahal semua
materi tersebut salingberkaitan satu sama lain.
Slavin
(Miftahul,2011: 69) mengemukakan bahwa ketiga kendala inibisa diatasi jika guru
mampu melakukan beberapa faktor sebagai berikut:
i.
Mengenakan sedikit
banyak karakteristik dan level kemampuan siswanya.
ii.
Selalu menyediakan
waktu khusus untuk mengetahui kemajuan setiapsiswanya dengan mengevaluasi
mereka secara individual setelah bekerjakelompok, dan yang paling penting
iii.
Mengintegrasikan metode
yang satudengan metode yang lain.
E.
Model-model
Pembelajaran Kooperatif
1. Model
Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD
a.
Pengertian Pembelajaran Kooperatif
Tipe STAD
Pembelajaran kooperatif
tipe STAD (Student Team Achievement Division), tipe ini dikembangkan pertama
kali oleh Robert Slavin dan teman-temannya di Universitas John Hopkins dan
merupakan model pembelajarankooperatif paling sederhana (Ibrahim dkk, 2000 : 6). Masing-masing kelompok
memiliki kemampuan akademik yang heterogen (Depelovment MA Project, 2002 : 31),
sehingga dalam satu kelompok akan terdapat satu siswa berkemampuan tinggi, dua
orang kemampuan sedang dan satu siswa lagi berkemampuan rendah.
Pembelajaran
kooperatif tipe STAD adalah pembelajaran yang secara sadar dan sengaja
mengembangkan interaksi yang saling asuh antar siswa untuk menghindari
ketersinggungan dan kesalahpahaman yang dapat menimbulkan permusuhan.
b. Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif Tipe
STAD
·
Para siswa di dalam
kelas dibagi menjadi 4 atau 5 anggota kelompok. Tiap anggota mempunyai anggota
yang heterogen, baik jenis kelamin, ras, etnis, maupun kemampuan.
·
Guru menyampaikan
materi pelajaran.
·
Guru memberikan tugas
kepada kelompok dengan menggunakan lembar kerja akademik, dan kemudian saling
membantu untuk menguasai materi pelajaran yang telah diberikan melalui tanya
jawab atau diskusi antar sesama anggota kelompok.
·
Guru memberikan
pertanyaan atau kuis kepada seluruh siswa. Pada saat menjawab pertanyaan atau
kuis dari guru siswa tidak saling membantu.
·
Setiap akhir
pembelajaran guru memberikan evaluasi untuk mengetahui penguasaan siswa
terhadap bahan akademik yang telah dipelajari.
·
Tiap siswa dan tiap
kelompok diberi skor atas penguasaannya terhadap materi pelajaran, dan kepada
siswa secara indivual atau kelompok yang meraih prestasi tinggi memperoleh skor
sempurna diberi penghargaan.
·
Kesimpulan.
Kelebihan dalam pembelajarankooperatif tipe STAD adalah:
Dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk
bekerjasama dengan siswa lain
Siswa dapat menguasai pelajaran yang disampaikan
Dalam proses belajar mengajar siswa saling
ketergantungan positif
Setiap siswa dapat saling mengisi satu sama lain
(Ibrahim, dkk. 2000 : 72).
Sedangkan kekurangan pembelajaran kooperatif tipe STAD
adalah:
Membutuhkan waktu yang lama
Siswa cenderung tidak mau apabila disatukan
dengan temannya yang kurang pandai apabila ia sendiri yang pandai dan yang
kurang pandaipun merasa minder apabila digabungkan dengan temannya yang pandai
walaupun lama kelamaan perasaan itu akan hilang dengan sendirinya (Ibrahim,
2000 : 72).
Tes , Siswa diberikan kuis dan tes secara
perorangan. Pada tahap ini setiap siswa harus memperhatikan kemampuannya dan
menunjukkan apa yang diperoleh pada kegiatan kelompok dengan cara menjawab soal
kuis atau tes sesuai dengan kemampuannya. Pada saat mengerjakan kuias atau tes
ini, setiap siswa bekerja sendiri bekerja sama dengan anggota kelompoknya.
Penentuan Skor, Hasil kuis atau tes
diperiksa oleh guru, setiap skor yang diperoleh siswa masukkan dalam daftar
skor individual, untuk melihat peningkatan kemampuan individual. Rata-rata skor
peningkatan individual merupakan sumbangan bagi kinerja percapaian hasil
kelompok.
Penghargaan terhadap kelompok, Berdasarkan skor
peningkatan individu diperoleh skor kelompok. Dengan demikian, skor kelompok
sangat tergantung dari sumbangan skor individu.
2.
Pembelajaran Kooperatif tipe TAI (Team Assisted Individualization)
a. Pengertian
Menurut Slavin (2005) tipe ini
mengkombinasikan keunggulan pembelajaran kooperatif dan pembelajaran
individual. Tipe ini dirancang untuk mengatasi kesulitan belajarsiswa secara
individual. Oleh karena itu kegiatan pembelajarannya lebihbanyak digunakan
untuk pemecahan masalah, ciri khas pada model pembelajaran TAI ini adalah
setiap siswa secara individual belajar materi pembelajaran yang sudah
dipersiapkan oleh guru. Hasil belajar individual dibawa ke kelompok-kelompok
untuk didiskusikan dan saling dibahas oleh anggota kelompok, dan semua anggota
kelompok bertanggung jawab atas keseluruhan jawaban sebagai tanggung jawab
bersama.
Model pembelajaran TAI dimana siswa
dikelompokkan ke dalam kelompok kecil (5 siswa) secara heterogen yang dipimpin
oleh seorang ketua kelompok yang mempunyai lebih dibandingkan anggotanya.
Selain itu guru mempunyai fleksibilitas untuk berpindah dari kelompok ke kelompok
atau dari individu ke individu, kemudian para siswa dapat saling memeriksa
hasil kerja mereka, mengidentifikasi masalah-masalah yang muncul dalam kelompok
dapat ditangani sendiri maupun dengan bantuan guru apabila diperlukan.
Miftahul (2011) mengemukakan bahwa
dalam model pembelajaranTAI, siswa dikelompokkan berdasarkan kemampuannya yang
beragam.Masing-masing kelompok terdiri dari 5 siswa dan ditugaskan
untukmenyelesaikan materi pembelajaran atau PR. Dalam model pembelajaranTAI,
setiap kelompok diberikan serangkaian tugas tertentu untuk
dikerjakanbersama-sama. Poin-poin dalam tugas dibagikan secara berurutan
kepadasetiap anggota (misalnya, untuk materi IPA yang terdiri dari 8 soal,
berartiempat anggota dalam setiap kelompok harus saling bergantian menjawabsoal-soal
tersebut). Semua anggota harus saling mengecek jawaban temantemansatu
kelompoknya dan saling memberi bantuan jika memangdibutuhkan. Setiap kelompok
harus memastikan bahwa semua anggotanyapaham dengan materi yang telah
didiskusikan.
Masing-masing anggota diberi tes
individu tanpa bantuan dari anggotayang lain. Selama menjalani tes individu
ini, guru harus memperhatikansetiap siswa. Skor tidak hanya dinilai oleh sejauh
mana siswa mampumenjalani tes itu, tetapi juga sejauh mana mereka mampu bekerja
secaramandiri (tidak mencontek).
Penghargaan (reward)
diberikan kepada kelompok yang mampumenjawab soal-soal dengan benar lebih
banyak dan mampu menyelesaikanPR dengan baik. Guru memberikan poin tambahan (extra
point) kepada siswayang mampu memperoleh nilai rata-rata yang melebihi KKM
pada ujian final.Karena dalam model pembelajaran TAI siswa harus saling
mengecekpekerjaannya satu sama lain dan mengerjakan tugas berdasarkan
rangkaiansoal tertentu, guru sambil lalu bisa memberi penjelasan seputar
soal-soal yangkebanyakan dianggap rumit oleh siswa. Pada model pembelajaran TAI
ini,akuntabilitas individu, kesempatan yang sama untuk sukses, dan
dinamikamotivasional menjadi unsur-unsur utama yang harus ditekankan oleh guru.
b. Langkah-langkah
Pembelajaran Kooperatif tipe TAI (Team
Assisted Individualization)
1. Guru
memberikan tugas kepada siswa untuk mempelajari materi pembelajaran secara
individual yang sudah dipersiapkan oleh guru;
2. Guru
memberikan kuis (pretest) secara individual kepada siswa untuk mendapatkan
skor dasar atau skor awal;
3. Guru
membentuk beberapa kelompok. Setiap kelompok terdiri dari 4–5 siswa dengan
kemampuan yang berbeda-beda baik tingkat kemampuan (tinggi,sedang dan rendah)
Jika mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku yang berbeda serta
kesetaraan jender;
4. Hasil
belajar siswa secara individual didiskusikan dalam kelompok. Dalam diskusi
kelompok, setiap anggota kelompok saling memeriksa jawaban teman satu kelompok;
5. Guru
memfasilitasi siswa dalam membuat rangkuman, mengarahkan, dan memberikan
penegasan pada materi pembelajaran yang telah dipelajari;
6. Guru
memberikan kuis (posttest) kepada siswa secara individual
7. Guru
memberi penghargaan pada kelompok berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil
belajar individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya (terkini).
3. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
a. Pengertian
Jigsaw telah dikembangkan dan
diuji coba oleh Elliot Aronson dkk di Universitas Texas dan kemudian diadaptasi
oleh Slaven dkk di Universitas Jhon Hopkins.
Dalam terapan tipe jigsaw, siswa dibagi menjadi
berkelompok dengan lima atau enam anggota kelompok belajar heterogen. Materi pelajaran diberikan pada siswa dalam
bentuk teks. Setiap anggota bertanggungjawab untuk mempelajari bagian tertentu
bahan yang diberikan. Anggota dari kelompok yang lain mendapat tugas topik yang
sama berkumpul dan berdiskusi tentang topik tersebut. Kelompok ini disebut
dengan kelompok ahli (Ibrahim, dkk. 2000 : 52).
c.
Langkah-langkah model jigsaw dibagi menjadi enam
tahapan, yaitu :
·
Menyajikan informasi kepada siswa dengan
demonstrasi disertai penjelasan verbal, buku teks, atau bentuk lain
·
Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok
belajar
·
Mengelola dan membantu siswa dalam belajar
kelompok dan kerja di empat duduk masing-masing
·
Mengetes penguasaan kelompok atas bahan ajar
·
Pemberian penghargaan atau pengakuan terhadap
hasil belajar siswa Nurhadi dan Agus Gerrard, 2003 : 40)
Berdasarkan pendapat di atas dapat dijelaskan
bahwa :
·
Menyiapkan tujuan belajar dan membangkitkan
motivasi, Beberapa aspek dari tujuan dan motivasi siswa tidak berbeda untuk
pembelajaran model jigsaw. Guru yang berhasil memulai pelajaran dengan
menelaah ulang, menjelaskan tujuan mereka dengan bahasa yang mudah dipahami,
dengan menunjukkan bagaimana pelajaran itu terkait dengan pelajaran sebelumnya.
·
Menyajikan informasi kepada siswa dengan
demonstrasi disertai penjelasan verbal,
buku teks atau bentuk-bentuk lain, Menyajikaninformasi verbal secara jelas
kepada siswa dan memberikan petunjuk bagaimana melakukannya. Petunjuk itu tidak
akan diulang di sini. Bagaimanapun juga, penting untuk menggarisbawahi suatu
perhatian singkat tentang penggunaan buku teks.
·
Pemberian penghargaan atau pengakuan
terhadap hasil belajar siswa
Dalam pelaksanaannya, pembelajaran kooperatif tipe jigsaw memiliki kelebihan yaitu:
Ø Dapat memberikan
kesempatan kepada siswa untuk bekerjasama dengan siswa lain
Ø iswa dapat menguasai
pelajaran yang disampaikan
Ø Setiap anggota siswa
berhak menjadi ahli dalam kelompoknya
Ø Dalam proses belajar
mengajar siswa saling ketergantungan positif
Ø Setiap siswa dapat
saling mengisi satu sama lain (Ibrahim, dkk. 2000 : 70).
Sedangkan kekurangannya, yaitu :
Ø Membutuhkan waktu
yang lama
Ø Siswa cenderung tidak
mau apabila disatukan dengan temannya yang kurang pandai apabila ia sendiri
yang pandai dan yang kurang pandaipun merasa minder apabila digabungkan dengan
temannya yang pandai walaupun lama kelamaan perasaan itu akan hilang dengan sendirinya
(Ibrahim, 2000 : 71).
4.
Model Pembelajaran Teams Games
Tournaments ( TGT )
a. Pengertian
Model
pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) adalah salah satu tipe atau model
pembelajaran kooperatif yang mudah diterapkan, melibatkan aktivitas seluruh
siswa tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan peran siswa sebagai tutor
sebaya dan mengandung unsur permainan dan reinforcement. Aktivitas belajar
dengan permainan yang dirancang dalam pembelajaran kooperatif model Teams Games
Tournament (TGT) memungkinkan siswa dapat belajar lebih rileks disamping
menumbuhkan tanggung jawab, kejujuran, kerja sama, persaingan sehat dan
keterlibatan belajar.
Teams
games tournament (TGT) pada mulanya dikembangkan oleh Davied Devries dan Keith
Edward, ini merupakan metode pembelajaran pertama dari Johns Hopkins. Dalam
model ini kelas terbagi dalam kelompok-kelompok kecil yang beranggotakan 3
sampai dengan 5 siswa yang berbeda-beda tingkat kemampuan, jenis kelamin, dan
latar belakang etniknya, kemudian siswa akan bekerjasama dalam
kelompok-kelompok kecilnya. Pembelajaran dalam Teams games tournament (TGT)
hampir sama seperti STAD dalam setiap hal kecuali satu, sebagai ganti kuis dan
sistem skor perbaikan individu, TGT menggunakan turnamen permainan akademik.
Dalam turnamen itu siswa bertanding mewakili timnya dengan anggota tim lain
yang setara dalam kinerja akademik mereka yang lalu. Nur & Wikandari (2000)
menjelaskan bahwa Teams games tournament TGT telah digunakan dalam
berbagai macam mata pelajaran, dan paling cocok digunakan untuk mengajar tujuan
pembelajaranyang dirumuskan dengan tajam dengan satu jawaban benar, seperti
perhitungan dan penerapan berciri matematika, dan fakta-fakta serta konsep IPA.
b.
Langkah-langkah pembelajaran TGT
Langkah 1
: Tahap Menyampaikan Informasi (Presentasi Klasikal)
Pada
fase ini guru menyajikan materi pelajaran seperti biasa, bisa dengan ceramah,
diskusi, demonstrasi atau eksperimen bergantung pada karakteristik materi yang
sedang disampaikan dan ketersediaan media di sekolah yang bersangkutan. Pada
kesempatan ini guru harus memberitahu siswa agar cermat mengikuti proses
pembelajaran karena informasi yang diterimanya pada fase ini sangat bermanfaat
untuk bisa menjawab kuis pada fase berikutnya dan skor kuis yang akan diperoleh
sangat menentukan skor tim mereka.
Langkah 2: Tahap Pembentukan Tim atau Pengorganisasian Siswa
(Kelompok)
Pada
fase ini, guru membentuk kelompok-kelompok kecil beranggotakan 4-6 orang siswa,
terdiri dari siswa berkemampuan tinggi, sedang dan kurang. Fungsi kelompok
disini adalah untuk mengarahkan semua anggota untuk belajar mengkaji materi
yang disampaikan oleh guru, berdiskusi, membantu anggota yang kemampuan akademiknya
kurang sehingga mereka secara tim nantinya siap untuk mengikuti kuis.
Kekompakkan kerjasama tim akan mampu meningkatkan hubungan antar sesama anggota
tim, rasa percaya diri, dan keakraban antar siswa.
Langkah 3: Tahap Permainan (Game Tournament)
Pada
fase ini, guru membuat suatu bentuk permainan.Materinya terdiri dari sejumlah
pertanyaan yang relevan dengan materi ajar yang disampaikan oleh guru pada fase
sebelumnya untuk menguji kemajuan pengetahuan siswa setelah memperoleh
informasi secara klasikal dan hasil latihan di kelompoknya. Dalam permainan
ini, posisi meja turnamen diatur sebagai berikut (Sumber: Slavin dalam Purwati,
2010).
Siswa dari suatu kelompok
ditempatkan pada meja tournament berdasarkan tingkat kemampuan mereka. Pada
meja 1 ditempatkan wakil-wakil siswa yang berkemampuan akademik tinggi, pada
meja 2 dan 3 ditempatkan siswa yang berkemampuan rata-rata, sedangkan pada meja
4 ditempatkan oleh para siswa yang berkemampuan rendah. Selanjutnya, para siswa
akan mengalami perubahan posisi dari satu meja ke meja yang lain tergantung
dari kemampuan mereka dalam mengikuti lomba atau tournament. Pemenang pertama
pada suatu meja bisa berpindah meja yang berkualifikasi lebih tinggi, pemenang
kedua tetap tinggal di meja semula, sedangkan siswa yang memperoleh skor
terendah akan bergeser ke meja yang ditempati oleh siswa yang berkualifikasi
lebih rendah. Dengan cara ini maka penempatan siswa pada saat awal akan dapat
bergeser naik atau turun sampai menempati posisi yang sesuai dengan tingkat
kemampuan yang sesungguhnya mereka miliki.
Peraturan permainan
Permainan diawali dengan
memberitahukan aturan permainan kepada siswa.Setelah itu dilanjutkan dengan
membagikan kartu-kartu soal untuk bermain (kartu soal dan kunci ditaruh
terbalik diatas meja sehingga soal dan kunci tidak terbaca).Permainan pada tiap
meja turnamen dilakukan dengan aturan sebagai berikut Slavin, 1995 (dalam
Kurniawan, 2008).
1. Tiap meja terdiri dari 4-6 orang siswa yang
berasal dari kelompok yang berbeda/heterogen.
2. Setiap pemain dalam tiap meja menentukan
terlebih dahulu pembaca soal dan pemain pertama dengan cara undian. Pemain yang
menang undian mengambil kartu undian yang berisi nomor soal dan diberikan kepada pembaca soal. Pembaca soal akan
membacakan soal sesuai dengan nomor undian yang diambil oleh pemain.
3. Soal dikerjakan secara mandiri oleh
penantang dan pemain sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dalam soal.
Setelah waktu untuk mengerjakan soal selesai, maka pemain akan membacakan hasil
pekerjaannya yang akan ditanggapi oleh penantang.
4. Pembaca soal akan membuka kunci jawaban dan
skor hanya diberikan kepada pemain yang menjawab benar atau penantang yang
memberikan jawaban benar. Jika semua jawaban pemain salah, maka kartu dibiarkan
saja.
5. Permainan dilanjutkan dengan kartu soal
berikutnya sampai semua kartu soal habis dibacakan, dan posisi pemain diputar
searah jarum jam agar setiap peserta dalam satu meja turnamen dapat berperan
sebagai pembaca soal, pemain dan penantang.
6. Dalam permainan, pembaca soal hanya bertugas
untuk membaca soal dan membuka kunci jawaban, tidak boleh ikut menjawab atau
memberikan jawaban kepada peserta yang lain.
7. Setelah semua kartu selesai terjawab, setiap
pemain dalam satu meja menghitung jumlah kartu yang diperoleh dan menentukan
berapa poin yang diperoleh berdasarkan tabel yang telah disediakan.
8. Setiap pemain kembali kepada kelompok
asalnya dan melaporkan poin yang diperoleh kepada ketua kelompok. Ketua
kelompok memasukkan poin yang diperoleh oleh anggota kelompoknya pada tabel
yang telah disediakan, kemudian menentukan kriteria penghargaan yang diterima
oleh kelompoknya.
Langkah 4: Tahap Pemberian Penghargaan Kelompok
Skor
kelompok diperoleh dengan cara menjumlahkan skor anggota setiap kelompok,
kemudian dicari rata-ratanya. Berdasarkan skor rata-rata kelompok akan
diperoleh gambaran perbedaan prestasinya. Dari skor rata-rata kelompok ini guru
dapat memberikan penghargaan kepada setiap kelompok berdasarkan kriteria
seperti pada tabel berikut.
Kriteria
Penghargaan untuk Kelompok
No
|
Kriteria (Rata-rata Kelompok)
|
Predikat
|
1
|
X<15
|
-
|
2
|
15≤X<20
|
Kelompok Cukup
|
3
|
20≤X<25
|
Kelompok Baik
|
4
|
25≤X
|
Kelompok Sangat Baik
|
Skor rata-rata kelompok yang lebih
kecil dari 15 sengaja tidak diberikan predikat untuk memacu kelompok agar lebih
giat belajar pada topik-topik berikutnya.
Dari
sintaks pembelajaran di atas tampak bahwa pengetahuan tidak bersumber dari
guru, akan tetapi siswalah yang secara aktif membangun pengetahuan mereka
sendiri bersama anggota kelompoknya sesuai dengan prinsip-prinsip teori belajar
konstruktivisme. Dengan demikian, guru hanya berperan sebagai fasilitator agar
terjamin kondisi yang baik untuk pembelajaran.
Kelebihan
dan Kelemahan Pembelajaran TGT Metode pembelajaran kooperatif Team Games
Tournament (TGT) ini mempunyai kelebihan dan kekurangan. Menurut Suarjana
(2000:10) dalam Istiqomah (2006), yang merupakan kelebihan dari pembelajaran
TGT antara lain:
Lebih meningkatkan pencurahan waktu untuk tugas
Mengedepankan penerimaan terhadap perbedaan individu
Dengan waktu yang sedikit dapat menguasai materi secara
mendalam
Proses belajar mengajar berlangsung dengan keaktifan dari
siswa
Mendidik siswa untuk berlatih bersosialisasi dengan orang
lain
Motivasi belajar lebih tinggi
Hasil belajar lebih baik
Meningkatkan kebaikan budi, kepekaan dan toleransi
Sedangkan kelemahan TGT adalah:
Bagi Guru
Sulitnya pengelompokan siswa yang
mempunyai kemampuan heterogen dari segi akademis. Kelemahan ini akan dapat
diatasi jika guru yang bertindak sebagai pemegang kendali teliti dalam
menentukan pembagian kelompok waktu yang dihabiskan untuk diskusi oleh siswa
cukup banyak sehingga melewati waktu yang sudah ditetapkan. Kesulitan ini dapat
diatasi jika guru mampu menguasai kelas secara menyeluruh.
Bagi Siswa
Masih adanya siswa berkemampuan
tinggi kurang terbiasa dan sulit memberikan penjelasan kepada siswa lainnya.
Untuk mengatasi kelemahan ini, tugas guru adalah membimbing dengan baik siswa
yang mempunyai kemampuan akademik tinggi agar dapat dan mampu menularkan
pengetahuannya kepada siswa yang lain.
5. Model pembelajaran Cooperative Integrated Reading
and Composition-CIRC (Kooperatif Terpadu Membaca dan Menulis)
a.
Pengertian
Terjemahan bebas dari CIRC adalah
komposisi terpadu membaca dan menulis secara koperatif–kelompok.
Model pembelajaran Cooperative Integrated Reading and Composition-CIRC (Kooperatif Terpadu Membaca dan Menulis) merupakan model pembelajaran khusus Mata pelajaran Bahasa Indonesia dalam rangka membaca dan menemukan ide pokok, pokok pikiran atau,tema sebuah wacana/kliping.
Model pembelajaran Cooperative Integrated Reading and Composition-CIRC (Kooperatif Terpadu Membaca dan Menulis) merupakan model pembelajaran khusus Mata pelajaran Bahasa Indonesia dalam rangka membaca dan menemukan ide pokok, pokok pikiran atau,tema sebuah wacana/kliping.
Dalam pembelajaran CIRC
atau pembelajaran terpadu setiap siswa bertanggung jawab terhadap tugas
kelompok. Setiap anggota kelompok saling mengeluarkan ide-ide untuk memahami
suatu konsep dan menyelesaikan tugas (task), sehingga terbentuk pemahaman yang
dan pengalaman belajar yang lama. Model pembelajaran ini terus mengalami
perkembangan mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga sekolah menengah.
Proses pembelajaran ini mendidik siswa berinteraksi sosial dengan lingkungan.
Prinsip belajar terpadu ini sejalan
dengan empat pilar pendidikan yang digariskan UNESCO dalam kegiatan
pembelajaran. Empat pilar itu adalah ”belajar untuk mengetahui (learning to
know), belajar untuk berbuat (learning to do), belajar untuk menjadi diri
sendiri (learning to be), dan belajar hidup dalam kebersamaan (Learning to live
together), (Depdiknas,2002).
b. Langkah-langkah pembelajarannya sebagai
berikut :
1.
Membentuk kelompok yang
anggotanya 4 orang siswa secara heterogen.
2.
Guru memberikan
wacana/kliping sesuai dengan topik pembelajaran.
3.
Siswa bekerja sama
saling membacakan dan menemukan ide pokok dan memberi tanggapan terhadap
wacana/kliping dan ditulis pada lembar kertas.
4.
Mempresentasikan/membacakan
hasil kelompok.
5.
Guru dan siswa membuat
kesimpulan bersama.
6.
Penutup.
Dari setiap fase tersebut di atas
dapat kita perhatikan dengan jelas sebagai berikut:
a. Fase
Pertama, Pengenalan konsep. Fase ini guru mulai mengenalkan tentang suatu
konsep atau istilah baru yang mengacu pada hasil penemuan selama eksplorasi.
Pengenalan bisa didapat dari keterangan guru, buku paket, atau media lainnya.
b.
Fase Kedua, Eksplorasi
dan aplikasi. Fase ini memberikan peluang pada siswa untuk mengungkap
pengetahuan awalnya, mengembangkan pengetahuan baru, dan menjelaskan fenomena
yang mereka alami dengan bimbingan guru minimal. Hal ini menyebabkan terjadinya
konflik kognitif pada diri mereka dan berusaha melakukan pengujian dan
berdiskusi untuk menjelaskan hasil observasinya. Pada dasarnya, tujuan fase ini
untuk membangkitkan minat, rasa ingin tahu serta menerapkan konsepsi awal siswa
terhadap kegiatan pembelajaran dengan memulai dari hal yang kongkrit. Selama
proses ini siswa belajar melalui tindakan-tindakan mereka sendiri dan
reaksi-reaksi dalam situasi baru yang masih berhubungan, juga terbukti menjadi
sangat efektif untuk menggiring siswa merancang eksperimen, demonstrasi untuk
diujikannya.
c.
Fase Ketiga, Publikasi.
Pada fase ini Siswa mampu mengkomunikasikan hasil temuan-temuan, membuktikan,
memperagakan tentang materi yang dibahas. Penemuan itu dapat bersifat sebagai
sesuatu yang baru atau sekedar membuktikan hasil pengamatannya.. Siswa dapat
memberikan pembuktian terkaan gagasan-gagasan barunya untuk diketahui oleh
teman-teman sekelasnya. Siswa siap menerima kritikan, saran atau sebaliknya
saling memperkuat argumen.
Kelebihan
dari model pembelajaran terpadu atau (CIRC) antara lain:
1.
Pengalaman dan kegiatan
belajar anak didik akan selalu relevan dengan tingkat perkembangan anak;
2.
kegiatan yang dipilih
sesuai dengan dan bertolak dari minat siswa dan kebutuhan anak;
3.
seluruh kegiatan
belajar lebih bermakna bagi anak didik sehingga hasil belajar anak didik akan
dapat bertahan lebih lama;
4.
pembelajaran terpadu
dapat menumbuh-kembangkan keterampilan berpikir anak;
5.
pembelajaran terpadu
menyajikan kegiatan yang bersifat pragmatis (bermanfaat) sesuai dengan
permasalahan yang sering ditemuai dalam lingkungan anak;
6.
pembelajaran terpadu
dapat menumbuhkan motivasi belajar siswa kearah belajar yang dinamis, optimal
dan tepat guna;
7.
menumbuhkembangkan
interaksi sosial anak seperti kerjasama, toleransi, komunikasi dan respek
terhadap gagasan orang lain;
8.
membangkitkan motivasi
belajar, memperluas wawasan dan aspirasi guru dalam mengajar (Saifulloh, 2003).
Kekurangan dari model
pembelajaran CIRC tersebut antara lain:
Dalam model pembelajaran ini hanya dapat dipakai untuk mata pelajaran yang menggunakan bahasa, sehingga model ini tidak dapat dipakai untuk mata pelajaran seperti: matematika dan mata pelajaran lain yang menggunakan prinsip menghitung.
Dalam model pembelajaran ini hanya dapat dipakai untuk mata pelajaran yang menggunakan bahasa, sehingga model ini tidak dapat dipakai untuk mata pelajaran seperti: matematika dan mata pelajaran lain yang menggunakan prinsip menghitung.
6. Model Pembelajaran Kooperatif Think-Pair-Share (TPS)
a. Pengertian
Dalam Nurhadi (2005: 120), Frank Lyman
(1981) think pair share merupakan metode pembelajaran yang dapat
mengaktifkan seluruh siswa selama proses pembelajaran dan memberikan kesempatan
untuk bekeja sama antar siswa yang mempunyai kemampuan heterogen. Dikemukakan
oleh Lie (2002:56) bahwa, “think pair share adalah pembelajaran yang
memberi siswa kesempatan untuk bekerja sendiri dan bekerjasama dengan orang
lain. Think pair share memiliki prosedur secara eksplisit dapat memberi
siswa waktu lebih banyak untuk berpikir, menjawab, saling membantu satu sama
lain (Ibrahim, 2007:10) dengan cara ini diharapkan siswa mampu bekerja sama,
saling membutuhkan dan saling
bergantung pada kelompok-kelompok kecil secara kooperatif.
Model pembelajaran
kooperatif tipe think pair share merupakan salah satu model pembelajaran
kooperatif yang mampu mengubah asumsi bahwa metode resitasi dan diskusi perlu
diselenggarakan dalam setting kelompok secara keseluruhan. Karakteristik
model think pair share siswa dibimbing secara mandiri, berpasangan, dan
saling berbagi untuk menyelesaikan permasalahan. Model ini selain diharapkan
dapat menjembatani dan mengarahkan proses belajar mengajar juga mempunyai
dampak lain yang sangat bermanfaat bagi siswa. Beberapa akibat yang dapat
ditimbulkan dari model ini adalah siswa dapat berkomunikasi secara langsung
oleh individu lain yang dapat saling memberi informasi dan bertukar pikiran
serta mampu berlatih untuk mempertahankan pendapatnya jika pendapat itu layak
untuk dipertahankan.
Pembelajaran think
pair share dapat mengembangkan kemampuan mengungkapkan ide atau gagasan
dengan kata-kata secara verbal dan membandingkan ide-idenya dengan orang lain.
Membantu siswa untuk respek pada orang lain dan menyadari akan segala
keterbatasannya serta menerima segala perbedaan. Siswa dapat mengembangkan
kemampuan untuk menguji ide dan pemahamannya sendiri dan menerima umpan balik.
Interaksi yang terjadi selama pembelajaran dapat meningkatkan motivasi dan
memberikan rangsangan untuk berpikir sehingga bermanfaat bagi proses pendidikan
jangka panjang.
Dari berbagai
pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe think
pair share adalah model Pembelajaran yang dapat mengaktifkan seluruh kelas
karena siswa diberi kesempatan bekerja sendiri dan bekerja sama dengan orang
lain dalam kelompok kecil sehingga membantu siswa untuk respek pada orang lain
dan menyadari akan segala keterbatasannya serta menerima segala perbedaan dan
siswa dapat mengembangkan kemampuan untuk menguji ide dan pemahamannya sendiri
dan menerima umpan balik.
Pengertian think
pair share menurut peneliti adalah model pembelajaran yang menuntut siswa agar
dapat berpikir sendiri dan bekerja sama dengan siswa yang lain dalam kelompok
kecil dalam mengembangkan kemampuan sehingga 8 diperlukan interaksi yang baik
dalam membagi informasi untuk menyelesaikan permasalahan.
b. Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif
Think-Pair-Share (TPS)
Dalam Nurhadi (2005 :120), Lyman dan kawan-kawan menggunakan
langkah-langkah sebagai berikut:
Langkah I : thinking (berpikir)
Guru mengajukan pertanyaan atau isu yang berkaitan dengan
pelajaran; dan siswa diberi waktu satu menit untuk berpikir sendiri mengenai
jawaban atau isu tersebut.
Langkah II : pairing (berpasangan)
Selanjutnya guru meminta siswa berpasangan dan mendiskusikan
yang telah dipikirkan. Interaksi selama periode ini dapat menghasilkan jawaban
bersama jika pertanyaan telah diajukan atau penyampaian ide bersama jika isu
khusus telah diidentifikasi. Biasanya guru mengijinkan tidak lebih dari 4 atau
5 menit untuk berpasangan.
Langkah III : sharing (berbagi)
Pada langkah akhir ini guru meminta pasangan-pasangan
tersebut untuk berbagi atau bekerja sama dengan secara kelas secara keseluruhan
mengenai yang telah mereka bicarakan, langkah ini akan efektif jika guru
berkeliling kelas dari pasangan yang satu ke pasangan yang lain, sehingga
seperempat atau separuh dari pasangan-pasangan tersebut memperoleh kesempatan
untuk melapor.
Sedangkan menurut Huda (2011 : 136), prosedur pembelajaran
think pair share adalah sebagai berikut :
1. Siswa ditempatkan dalam
kelompok-kelompok. Setiap kelompok terdiri dari empat anggota/siswa.
2. Guru memberikan tugas pada setiap
kelompok.
3. Masing-masing anggota memikirkan dan
mengerjakan tugas tersebut sendiri-sendiri terlebih dahulu.
4. Kelompok membentuk anggotanya secara
berpasangan. Setiap pasangan mendiskusikan hasil pengerjaan individunya.
5. Kedua pasangan lalu bertemu kembali
dalam kelompoknya masing-masing untuk mebagikan hasil diskusinya.
Dari langkah-langkah pembelajaran think pair share yang
dikemukakan oleh kedua ahli, belum dicantumkan sintaks pembelajaran kooperatif
secara keseluruhan. Langkah-langkah dalam pembelajaranpun menggunakan kegiatan
awal, inti dan akhir. Oleh karena itu, peneliti menggunakan langkah-langkah
pembelajaran think pair share dengan menggabungkannya dengan sintaks
pembelajaran kooperatif yakni sebagai berikut:
A. Kegiatan Awal
1. Membuka pelajaran: memeriksa
kesiapan peserta didik.
2. Guru menyampaikan tujuan
pembelajaran yang ingin dicapai dalam pembelajaran.
3. Guru memberikan informasi dan
menjelaskan kegiatan yang akan dikerjakan dan direncanakan.
4. Guru membentuk kelompok
B. Kegiatan Inti
Tahap think:
5. guru memberikan tugas pada setiap kelompok.
6. Masing-masing anggota memikirkan dan
mengerjakan tugas tersebut sendiri-sendiri terlebih dahulu.
Tahap pair :
7. Kelompok membentuk anggotanya secara
berpasangan. Setiap pasangan mendiskusikan hasil pengerjaan individunya.
8. Guru mengontrol kerja siswa dalam
berdiskusi dan membantu siswa mengarahkan jika masih terdapat hal-hal yang
belum dipahami.
Tahap share :
9. Kedua pasangan lalu bertemu kembali
dalam kelompoknya masing-masing untuk menshare hasil diskusinya.
10. Guru memimpin jalannya diskusi
kelas.
C. Kegiatan Penutup
11. Guru memberi penguatan/penghargaan
terhadap hasil diskusi.
12. Guru mengadakan evaluasi.
Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran TPS
Menurut Huda (2011 : 171) mengemukakan bahwa kelebihan dari
kelompok berempat adalah sebagai berikut :
1. Mudah dipecah menjadi berpasangan.
2. Lebih banyak muncul ide.
3. Lebih banyak tugas yang bisa dilakukan.
4. Guru mudah memonitor.
Sedangkan kekurangan dari kelompok berempat adalah sebagai
berikut :
1. Butuh banyak waktu.
2. Butuh sosialisasi yang lebih baik.
3. Jumlah genap; menyulitkan pengambilan suara.
4. Setiap anggota kurang memiliki kesempatan untuk
berkontribusi pada kelompoknya.
5. Setiap anggota mudah melepaskan diri dari
keterlibatan.Perhatian anggota sangat kurang.
7. Pembelajaran
kooperatif tipe NHT (Number Heads Together).
a. Pengertian
a. Pengertian
Pembelajaran
kooperatif tipe NHT dikembangkan oleh Spencer Kagen (1993). Pada umumnya NHT digunakan
untuk melibatkan siswa dalam penguatan pemahaman pembelajaran atau mengecek
pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran.
b. Langkah- langkah penerapan tipe NHT:
b. Langkah- langkah penerapan tipe NHT:
1.
Guru menyampaikan
materi pembelajaran atau permasalahan kepada siswa sesuai kompetensi dasar yang
akan dicapai.
2.
Guru memberikan kuis
secara individual kepada siswa untuk mendapatkan skor dasar atau skor awal.
3.
Guru membagi kelas
dalam beberapa kelompok, setiap kelompok terdiri dari 4-5 siswa, setiap anggota
kelompok diberi nomor atau nama.
4.
Guru mengajukan
permasalahan untuk dipecahkan bersama dalam kelompok.
5.
Guru mengecek pemahaman
siswa dengan menyebut salah satu nomor (nama) anggota kelompok untuk menjawab.
Jawaban salah satu siswa yang ditunjuk oleh guru merupakan wakil jawaban dari
kelompok.
6.
Guru memfasilitasi
siswa dalam membuat rangkuman, mengarahkan, dan memberikan penegasan pada akhir
pembelajaran.
7.
Guru memberikan
tes/kuis kepada siswa secara individual.
8.
Guru memberi
penghargaan pada kelompok melalui skor penghargaan berdasarkan perolehan nilai
peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya
(terkini).
BAB
III
KESIMPULAN
Pembelajaran
kooperatif merupakan pembelajaran dengan membentuk kelompok-kelompok yang
didasari dengan kerja sama dan setiap anggota kelompok harus bertanggung jawab
atas pembelajarannya agar tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Teori yang menjadi pendukung model
pembelajaran kooperatif ini adalah:
a.
Teori Psikologi
Kognitif-Konstruktivistik (Piaget dan Vygotsky)
b.
Teori Psikologi Sosial
(Dewey, Thelan, Allport, dan Lewin).
Langkah – langkah model
pembelajaran kooperatif
Fase
|
Indikator
|
Aktivitas Guru
|
1
|
Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa
|
Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada
pelajaran tersebut dan memotivasi siswa
|
2
|
Menyajikan informasi
|
Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi
atau lewat bahan bacaan
|
3
|
Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar
|
Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk
kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi efisien
|
4
|
Membimbing kelompok bekerja dan belajar
|
Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mengerjakan
tugas
|
5
|
Evaluasi
|
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah
dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya
|
6
|
Memberikan penghargaan
|
Guru mencari cara untuk menghargai upaya atau hasil belajar
siswa baik individu maupun kelompok.
|
Model - model Pembelajaran
Kooperatif
1.
Model
Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD
2.
Pembelajaran Kooperatif
tipe TAI (Team Assisted Individualization)
3.
Model
Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
4.
MODEL PEMBELAJARAN TEAMS GAMES TOURNAMENTS ( TGT )
5.
Model
pembelajaran Cooperative Integrated Reading and Composition-CIRC (Kooperatif
Terpadu Membaca dan Menulis)
6.
Model Pembelajaran Kooperatif
Think-Pair-Share (TPS)
7.
Pembelajaran
kooperatif tipe NHT (Number Heads Together).
DAFTAR
PUSTAKA
Kunandar.2007. Guru
Professional Implementasi Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Dan Sukses Dalam
Sertifikasi Guru. Jakarta: Raja Grafindo.
Mulyasa.
2008. Menjadi guru Professional
Menciptakan Pembelajaran Kreatif DanMenyenangkan. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Muslich Masnur. 2008. KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi Dan Kontekstual.
Jakarta: Bumi Aksara.
Sanjaya
Wina. 2006. Strategi Pembelajaran
Berorientasi StandarProses Pendidikan. Rawamangun-Jakarta: Kencana Perdana
Media Group.
Suprijono,
A. 2011.Cooperative Learning.Yogyakarta
: Pustaka Pelajar
. 2012. “Teori Belajar yang
Mendasari Model Pembelajaran Inkuiri”. Online.(http://repository.upi.edu/operator/upload/s_tm_054161_chapter2.pdf diakses pada 20 November 2013).
.2012. “Model Pembelajaran Inquiri”.Online. (http://www.ras-eko.com/2011/05/model-pembelajaran-inquiry.html diakses pada 20 November 2013)