BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Saat ini terdapat beragam inovasi
baru di dalam dunia pendidikan terutama pada proses pembelajaran. Salah satu
inovasi tersebut adalah konstruktivisme. Pemilihan pendekatan ini lebih dikarenakan
agar pembelajaran membuat siswa antusias terhadap persoalan yang ada sehingga
mereka mau mencoba memecahkan persoalannya. Pembelajaran di kelas masih dominan
menggunakan metode ceramah dan tanya jawab sehingga kurang memberikan
kesempatan kepada siswa untuk berintekrasi langsung kepada benda-benda konkret.
Seorang guru perlu memperhatikan konsep awal siswa sebelum pembelajaran. Jika
tidak demikian, maka seorang pendidik tidak akan berhasil menanamkan konsep
yang benar, bahkan dapat memunculkan sumber kesulitan belajar selanjutnya.
Mengajar bukan hanya untuk meneruskan gagasan-gagasan pendidik pada siswa,
melainkan sebagai proses mengubah konsepsi-konsepsi siswa yang sudah ada dan di
mana mungkin konsepsi itu salah, dan jika ternyata benar maka pendidik harus
membantu siswa dalam mengkonstruk konsepsi tersebut biar lebih matang.
Maka dari permasalahan tersebut,
kami melakukan penelitian konsep untuk mengetahui bagaimana sebenarnya hakikat teori
belajar konstruktivisme ini bisa mengembangkan keaktifan siswa dalam
mengkonstruk pengetahuannya sendiri, sehingga dengan pengetahuan yang
dimilikinya peserta didik bisa lebih memaknai pembelajaran karena dihubungkan
dengan konsepsi awal yang dimiliki siswa dan pengalaman yang siswa peroleh dari
lingkungan kehidupannya sehari-hari.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah
devinisi dari teori konstruktivisme ?
2.
Bagaimanakah
konsep dasar dari teori Konstruktivisme ?
3.
Bagaimana implementasi teori konstruktivisme ?
C. Tujuan
1.
Memahami dan mengerti devinisi dari teori konstruktivisme
2.
Memahami dan mengerti dari adanya konsep dasar teori konstruktivisme
3.
Memahami dan mengerti cara mengaplikasikan teori konstruktivisme dalam sistem
pembelajaran
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Teori Belajar Konstruktivisme
Kontruktivisme
adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam stuktur kognitif siswa
berdasarkan pengalaman. Pengetahuan itu terbentuk bukan dari objek semata, akan
tetapi juga dari kemampuan individu sebagai subjek yang menangkap setiap objek
yang di amatinya. Menurut konstruktivisme, pengetahuan itu memang berasal dari
luar akan tetapi dikontruksi dalam diri seseorang. Oleh sebab itu tidak
bersifat statis akan tetapi bersifat dinamis. Tergantung individu yang melihat
dan mengkontruksinya.[1][1]
Teori yang
melandasi pembelajaran kooperatif adalah teori konstruktivisme. Pada dasarnya
pendekatan teori konstruktivisme dalam belajar adalah suatu pendekatan di mana
siswa harus secara individual menemukan dan menstransformasikan informasi yang
kompleks, memeriksa informasi dengan aturan yang ada dan merevisinya bila
perlu.[2][2]
Teori
konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang
bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang
dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat belajar
sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus respon,
konstruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau
menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan
pengalamanya. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang
baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan
pembinaan pengalaman demi pengalaman. Demikian ini menyebabkan seseorang
mempunyai pengetahuan dan
menjadi lebih dinamis. Model pembelajaran ini dikembangkan dari teori belajar
konstruktivisme yang lahir dari gagasan Pieget dan vigotsky.
Belajar menurut konstruktivisme adalah suatu proses
mengasimilasikan dan mengkaitkan pengalaman atau pelajaran yang dipelajari dengan
pngertian yang sudah dimilikinya, sehingga pengetahuannya dapat dikembangkan.
Teori Konstruktivisme didefinisikan
sebagai pembelajaran
yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang
dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat belajar
sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus respon,
kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau
menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan
pengalamanya. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan
yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan
dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan
dan menjadi lebih dinamis.
Menurut teori ini, satu prinsip yang
mendasar adalah guru tidak hanya memberikan pengetahuan kepada siswa, namun
siswa juga harus berperan aktif membangun sendiri pengetahuan di dalam
memorinya. Dalam hal ini, guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini,
dengan membri kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan ide – ide
mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan
strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan siswa anak tangga
yang membawasiswa ke tingkat pemahaman yang lebih tinggi dengan catatan siswa
sendiri yang mereka tulis dengan bahasa dan kata – kata mereka sendiri.
Dari uraian tersebut dapat
dikatakan, bahwa makna belajar menurut konstruktivisme adalah aktivitas yang
aktif, dimana pesrta didik membina sendiri pengtahuannya, mencari arti dari apa
yang mereka pelajari dan merupakan proses menyelesaikan konsep dan idea-idea
baru dengan kerangka berfikir yang telah ada dan dimilikinya (Shymansky,1992).
Dalam mengkonstruksi pengetahuan
tersebut peserta didik diharuskan mempunyai dasar bagaimana membuat hipotesis
dan mempunyai kemampuan untuk mengujinya, menyelesaikan persoalan, mencari
jawaban dari persoalan yang ditemuinya, mengadakan renungan, mengekspresikan
ide dan gagasan sehingga diperoleh konstruksi yang baru.
Berkaitan dengan konstruktivisme, terdapat dua teori
belajar yang dikaji dan dikembangkan oleh Jean Piaget dan Vygotsky, yang dapat
diuraikan sebagai berikut:
1.
Teori
Belajar Konstruktivisme Jean Piaget
Piaget yang dikenal sebagai
konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa penekanan teori
kontruktivisme pada proses untuk menemukan teori atau pengetahuan yang dibangun
dari realitas lapangan. Peran guru dalam pembelajaran menurut teori
kontruktivisme adalah sebagai fasilitator atau moderator. Pandangan tentang
anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari
teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam
pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata
yang dimilikinya.
Proses
mengkonstruksi, sebagaimana dijelaskan Jean Piaget adalah sebagai berikut:
a) Skemata
Sekumpulan konsep yang
digunakan ketika berinteraksi dengan
lingkungan disebut dengan skemata.
Sejak kecil anak sudah memiliki
struktur kognitif yang kemudian dinamakan skema (schema). Skema
terbentuk karena pengalaman. Misalnya, anak senang bermain dengan kucing dan
kelinci yang sama-sama berbulu putih. Berkat keseringannya, ia dapat menangkap
perbedaan keduanya, yaitu bahwa kucing berkaki empat dan kelinci berkaki dua.
Pada akhirnya, berkat pengalaman itulah dalam struktur kognitif anak terbentuk
skema tentang binatang berkaki empat dan binatang berkaki dua. Semakin dewasa
anak, maka semakin sempunalah skema yang dimilikinya. Proses penyempurnaan
sekema dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi.
b) Asimilasi
Asimilasi adalah
proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun
pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya.
Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan
mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada.
Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan
perubahan/pergantian skemata melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah
salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri
dengan lingkungan baru pengertian orang itu berkembang.
c) Akomodasi
Dalam menghadapi rangsangan atau
pengalaman baru seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru
dengan skemata yang telah dipunyai. Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama
sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian orang
akan mengadakan akomodasi. Akomodasi tejadi untuk membentuk skema baru yang
cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada
sehingga cocok dengan rangsangan itu.
d) Keseimbangan
Ekuilibrasi adalah keseimbangan
antara asimilasi dan akomodasi sedangkan diskuilibrasi adalah keadaan dimana
tidak seimbangnya antara proses asimilasi dan akomodasi, ekuilibrasi dapat
membuat seseorang menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamnya.
2.
Teori Belajar
Konstruktivisme Vygotsky
Ratumanan (2004:45) mengemukakan
bahwa karya Vygotsky didasarkan pada dua ide utama. Pertama, perkembangan
intelektual dapat dipahami hanya bila ditinjau dari konteks historis dan budaya
pengalaman anak. Kedua, perkembangan bergantung pada sistem-sistem isyarat
mengacu pada simbol-simbol yang diciptakan oleh budaya untuk membantu orang
berfikir, berkomunikasi dan memecahkan masalah, dengan demikian
perkembangan kognitif anak mensyaratkan sistem komunikasi budaya dan
belajar menggunakan sistem-sistem ini untuk menyesuaikan proses-proses
berfikir diri sendiri.
Menurut Slavin (Ratumanan,
2004:49) ada dua implikasi utama teori Vygotsky dalam pendidikan. Pertama,
dikehendakinya setting kelas berbentuk pembelajaran kooperatif antar
kelompok-kelompok siswa dengan kemampuan yang berbeda, sehingga siswa dapat
berinteraksi dalam mengerjakan tugas-tugas yang sulit dan saling memunculkan
strategi-strategi pemecahan masalah yang efektif di dalam daerah pengembangan
terdekat/proksimal masing-masing. Kedua, pendekatan Vygotsky dalam
pembelajaran menekankan perancahan (scaffolding). Dengan scaffolding,
semakin lama siswa semakin dapat mengambil tanggungjawab untuk pembelajarannya
sendiri.
a. Pengelolaan
pembelajaran
Interaksi
sosial individu dengan lingkungannya sengat mempengaruhi perkembanganbelajar
seseorang, sehingga perkemkembangan sifat-sifat dan jenis manusia akan
dipengaruhi oleh kedua unsur tersebut. Menurut Vygotsky dalam Slavin (2000),
peserta didik melaksanakan aktivitas belajar melalui interaksi dengan orang
dewasa dan teman sejawat yang mempunyai kemampuan lebih. Interaksi sosial ini
memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual peserta
didik.
b. Pemberian
bimbingan
Menurut
Vygotsky, tujuan belajar akan tercapai dengan belajar menyelesaikan tugas-tugas
yang belum dipelajari tetapi tugas-tugas tersebut masih berada dalam daerah
perkembangan terdekat mereka (Wersch,1985), yaitu tugas-tugas yang terletak di
atas peringkat perkembangannya. Menurut Vygotsky, pada saat peserta didik
melaksanakan aktivitas di dalam daerah perkembangan terdekat mereka, tugas yang
tidak dapat diselesaikan sendiri akan dapat mereka selesaikan dengan bimbingan
atau bantuan orang lain.
Implikasi
Konstruktivisme dalam Pembelajaran
Adapun implikasi dari teori belajar
konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi, 1999: 63) adalah sebagai
berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah
menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk
menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang
sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan
keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan
memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan
menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (3) peserta didik
diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi
dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang
membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri
peserta didik.
Dikatakan juga bahwa pembelajaran yang memenuhi metode
konstruktivis hendaknya memenuhi beberapa prinsip, yaitu: a) menyediakan
pengalaman belajar yang menjadikan peserta didik dapat melakukan konstruksi
pengetahuan; b) pembelajaran dilaksanakan dengan mengkaitkan kepada kehidupan
nyata; c) pembelajaran dilakukan dengan mengkaitkan kepada kenyataan yang
sesuai; d) memotivasi peserta didik untuk aktif dalam pembelajaran; e)
pembelajaran dilaksanakan dengan menyesuaikan kepada kehidupan social peserta
didik; f) pembelajaran menggunakan barbagia sarana; g) melibatkan peringkat
emosional peserta didik dalam mengkonstruksi pengetahuan peserta didik (Knuth
& Cunningham,1996).
B.
Ciri-ciri Pembelajaran Konstruktivisme
Ada sejumlah ciri-ciri proses pembelajaran yang sangat
ditekankan oleh teori konstruktivisme, yaitu:[3][3]
1. Menekankan pada
proses belajar, bukan proses mengajar
2. Mendorong terjadinya
kemandirian dan inisiatif belajara pada siswa
3. Memandang siswa
sebagai pencipta kemauan dan tujuan yang ingin dicapai
4. Berpandangan bahwa
belajar merupakan suatu proses, bukan menekan pada hasil
5. Mendorong siswa untuk
melakukan penyelidikan
6. Menghargai peranan
pengalaman kritis dalam belajar
7. Mendorong
berkembangnya rasa ingin tahu secara alami pada siswa
8. Penilaian belajar
lebih menekankan pada kinerja dan pemahaman siswa
9. Berdasarkan proses
belajarnya pada prinsip-prinsip toeri kognitif
10. Banyak menggunakan terminologi
kognitif untuk menjelaskan proses
pembelajaran, seperti prediksi, infernsi, kreasi, dan analisis
11. Menekankan bagaimana siswa
belajar
12. Mendorong siswa untuk
berpartisipasi aktif dalam dialog atau diskusi dengan siswa lain dan guru
13. Sangat mendukung terjadinya
belajar kooperatif
14. Melibatkan
siswa dalam situasi dunia nyata
15. Menekankan
pentingnya konteks siswa dalam belajar
16. Memperhatikan
keyakinan dan sikap siswa dalam belajar
17. Memberikan
kesempatan kepada siswa untuk membangun pengetahuan dan pemahaman baru yang
didasarkan pada pengalaman nyata
C.
Konsep Dasar Konstruktivisme
Berikut ini merupakan beberapa konsep
kunci dari teori konstruktivisme antara lain:
1.
Siswa Sebagai Individu yang Unik
Teori konstruktivisme berpandangan
bahwa pembelajar merupakan individu yang unik dengan kebutuhan dan latar
belakang yang unik pula. Dalam teori ini tidak hanya memperkenalkan keunikan
dan kompleksitas pembelajar tetapi juga secara nyata mendorong, memotivasi dan
memberi penghargaan kepada siswa sebagai integral dari proses pembelajaran.
2.
Self Regulated Leaner (Pembelajar yang dapat mengelola diri sendiri )
Siswa dikembangkan menjadi seorang
yang memiliki pengetahuan tentang strategi belajar yang efektif, yang sesuai
dengan gaya belajarnya dan tahu bagaimana serta kapan menggunakan pengetahuan
itu dalam situasi pembelajaran yang berbeda. Self Regulated Leaner termotivasi
untuk belajar oleh dirinya sendiri, bukan dari nilai yang diperolehnya sebagai
hasil belajar atau karena motivasi eksternal yang lain, misalnya dari guru atau
orang tuanya.
3.
Tanggung jawab Pembelajaran
Dalam konstruktivisme ini berpandangan
bahwa tanggung jawab belajar bertumpu kepada siswa. Teori ini menekankan bahwa
siswa harus aktif dalam proses pembelajaran, dan berbeda pendapat dengan
pandangan pendidikan sebelumnya yang menyatakan tanggung jawab pembelajaran
lebih kepada guru, sedangkan siswa berperan secara pasif dan reseptif. Disini
para pembelajar mencari makna dan akan mencoba mencari keteraturan dari
berbagai kejadian yang ada di dunia, bahkan seandainya informasi yang tersedia
tidak lengkap.
4.
Motivasi Pembelajaran
Motivasi belajar secara kuat
bergantung kepada kepercayaan siswa terhadap potensi belajarnya sendiri.
Perasaan kompeten dan kepercayaan terhadap potensi untuk memecahkan masalah
baru, diturunkan dari pengalaman langsung di dalam menguasai masalah pada masa
lalu. Maka dari itu belajar dari pengalaman akan memperoleh kepercayaan diri,
serta motivasi untuk menyelesaikan masalah yang lebih kompleks lagi.
5.
Peran Guru Sebagai Fasilitator
Jika seorang guru menyampaikan
kuliah/ceramah yang menyangkut pokok bahasan, maka fasilitator membantu siswa
untuk memperoleh pemahamannya sendiri terhadap pokok bahasan/konten kurikulum.
6.
Kolaborasi Antarpembelajar
Pembelajar dengan keterampilan dan
latar belakang yang berbeda diakomodasi untuk melakukan kolaborasi dalam
penyelesaian tugas dan diskusi-diskusi agar mencapai pemahaman yang sama
tentang kebenaran dalam suatu wilayah bahasan yang spesifik.
7.
Proses Top-Down (Proses dari Atas ke Bawah)
Dalam proses ini siswa diperkenalkan
dulu dengan masalah-masalah yang kompleks untuk dipecahkan dengan bantuan guru
menemukan keterampilan-keterampilan dasar yang diperlukan untuk memecahkan
masalah seperti itu. Pada prinsipnya pembelajaran dimulai dengan pemberian dan
pelatihan keterampilan-keterampilan dasar dan secara bertahap diberikan
keterampilan-keterampilan yang lebih kompleks.[4][4]
D.
Model Pembelajaran Konstruktivisme
Salah satu contoh yang disarankan
adalah memulai dari apa yang menurut siswa hal yang biasa, padahal sesungguhnya
tidak demikian. Perlu diupayakan terjadinya situasi konfik pada struktur
kognitif siswa. Contohnya mengenai cecak atau cacing tanah. Mereka menduga
cecak atau cacing tanah hanya satu macam, padahal keduanya terdiri lebih dari
satu genus (bukan hanya berbeda species). Berikut ini akan dicontohkan model
untuk pembelajaran mengenai cacing tanah melalui ketiga tahap dalam
pembelajaran konstruktivisme (ekplorasi, klarifikasi, dan aplikasi)
Fase Eksplorasi
· Diperlihatkan tanah berisi cacing dan diajukan
pertanyaan: “Apa yang kau ketahui
tentang cacing tanah?”.
· Semua jawaban siswa ditampung (ditulis dipapan tulis
jika perlu).
· Siswa diberi kesempatan untuk memeriksa keadaan yang
sesungguhnya, dan diberi kesempatan untuk merumuskan hal-hal yang tidak sesuai
dengan jawaban mereka semula.
Fase Klarifikasi
· Guru memperkealkan macam-macam cacing dan spesifikasinya.
· Guru memperkealkan macam-macam cacing dan spesifikasinya.
· Siswa merumuskan kembali pengetahuan mereka tentang
cacing tanah.
· Guru memberikan masalah berupa pemilihan cacing yang
cocok untuk dikembangbiakkan.
· Siswa mendiskusikannya secara berkelompok dan
merencanakan penyelidikan.
· Secara berkelompok siswa melakukan penyelidikan
untuk menguji rencananya.
· Siswa mencari tambahan rujukan tentang manfaat
cacing tanah dulu dan sekarang.
Fase Aplikasi
· Secara berkelompok siswa melaporkan hasilnya,
dilanjutkan dengan penyajian oleh wakil kelompok dalam diskusi kelas.
· Secara bersama-sama siswa merumuskan rekomendasi
untuk para pemula yang ingin ber-“ternak cacing” tanah.
· Secara perorangan siswa membuat tulisan tentang
perkehidupan jenis cacing tanah tertentu sesuai hasil pengamatannya.[5][5]
E.
Peranan (Implementasi) Teori Konstruktivisme di Kelas
Berdasarkan ciri-ciri pembelajaran
konstruktivisme tersebut di atas, berikut ini dipaparka tentang penerapan di
kelas.[6][6]
1. Mendorong kemandirian dan inisiatif siswa dalam
belajar
Dengan menghargai gagasan-gagasan
atau pemikiran siswa serta mendorong siswa berpikir mandiri, berarti guru
membantu siswa menemukan identitas intelektual mereka. Para siswa yang
merumuskan pertanyaan-pertanyaan dan kemudian menganalisis serta menjawabnya
berarti telah mengembangkan tanggung jawab terhadap proses belajar mereka
sendiri serta menjadi pemecah masalah (problem solver).
2. Guru mengajukan pertanyaan terbuka dan memberikan
kesempatan beberapa waktu kepada siswa untuk merespon
Berfikir reflektif memerlukan waktu
yang cukup dan seringkali atas dasar gagasan-gagasan dan komentar orang lain.
Cara-cara guru mengajukan pertanyaan dan cara siswa merespon atau menjawabnya
akan mendorong siswa mampu membangun keberhasilan dalam melakukan penyelidikan.
3. Mendorong siswa berpikir tingkat
tinggi
Guru yang menerapkan proses
pembelajaran konstruktivisme akan menantang para siswa untuk mampu menjangkau
hal-hal yang berada di balik respon-respon faktual yang sederhana. Guru
mendorong siswa untuk menghubungkan dan merangkum konsep-konsep melalui
analisis, prediksi, justifikasi, dan mempertahankan gagasan-gagasan atau
pemikirannya.
4. Siswa terlibat secara aktif dalam dialog atau
diskusi dengan guru dan siswa lainnya
Dialog dan diskusi yang merupakan
interaksi sosial dalam kelas yang bersifat intensif sangat membantu siswa untuk
mampu mengubah atau menguatkan gagasan-gagasannya. Jika mereka memiliki
kesempatan untuk megemukakan apa yang mereka pikirkan dan mendengarkan
gagasan-gagasan orang lain, maka mereka akan mampu membangun pengetahuannya
sendiri yang didasarkan atas pemahaman mereka sendiri. Jika mereka merasa aman
dan nyaman untuk mengemukakan gagasannya maka dialog yang sangat bermakna akan
terjadi di kelas.
5. Siswa terlibat dalam pengalaman yang menantang dan
mendorong terjadinya diskusi
Jika diberi kesempatan untuk membuat
berbagai macam prediksi, seringkali siswa menghasilkan berbagai hipotesis
tentang fenomena alam ini. Guru yang menerapkan konstruktivisme dalam belajar
memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk menguji hipotesis yang
mereka buat, terutama melalui diskusi kelompok dan pengalaman nyata.
6. Guru memberika data mentah, sumber-sumber utama,
dan materi-materi interaktif
Proses pembelajaran yang menerapkan
pendekatan konstruktivisme melibatkan para siswa dalam mengamati dan
menganalisis fenomena alam dalam dunia nyata. Kemudian guru membantu para siswa
untuk menghasilkan abstraksi atau pemikiran-pemikiran tentang fenomena-fenomena
alam tersebut secara bersama-sama.[7][7]
Selain itu yang paling penting
adalah guru tidak boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa .
siswa harus membangun pengetahuan didalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat
membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi
sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan
kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan dengan
mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri
untuk belajar. Guru dapat memberikan tangga kepada siswa yang mana tangga itu
nantinya dimaksudkan dapat membantu mereka mencapai tingkat pemahaman yang
lebih tinggi , tetapi harus diupayakan agar siswa itu sendiri yang memanjatnya.
Dari uraian tersebut dapat
dikatakan, bahwa makna belajar menurut konstruktivisme adalah aktivitas yang
aktif, dimana pesrta didik membina sendiri pengetahuannya, mencari arti dari
apa yang mereka pelajari dan merupakan proses menyelesaikan konsep dan ide-ide
baru dengan kerangka berfikir yang telah ada dan dimilikinya (Shymansky,1992).
Dalam
mengkonstruksi pengetahuan tersebut peserta didik diharuskan mempunyai dasar
bagaimana membuat hipotesis dan mempunyai kemampuan untuk mengujinya,
menyelesaikan persoalan, mencari jawaban dari persoalan yang ditemuinya,
mengadakan renungan, mengekspresikan ide dan gagasan sehingga diperoleh
konstruksi yang baru.[8][8]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pada dasarnya Teori konstruktivisme
disini diartikan sebagai suatu pendekatan di mana siswa harus secara individual
menemukan dan menstransformasikan informasi yang kompleks, memeriksa informasi
dengan aturan yang ada dan merevisinya bila perlu.
Konsep dasar konstruktivisme
merupakan suatu unsur dimana seseorang dapat membina pengetahuan dirinya secara
aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada.
Peranan (Implementasi) Teori Konstruktivisme
bila diterapkan di kelas akan terbentuk: a) Mendorong kemandirian dan inisiatif
siswa dalam belajar. b) Guru mengajukan pertanyaan terbuka dan memberikan
kesempatan beberapa waktu kepada siswa untuk merespon. c) Mendorong siswa
berpikir tingkat tinggi. d) Siswa terlibat secara aktif dalam dialog atau
didkusi dengan guru dan siswa lainnya. e) Siswa terlibat dalam pengalaman yang
menantang dan mendorong terjadinya diskusi. f) Guru memberika data mentah,
sumber-sumber utama, dan materi-materi interaktif.
DAFTAR PUSTAKA
Dalyono, Psokologi pendidikan,
Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009.
Jeanne, Ormrod, Edisi Ke 6
Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang, Jakarta:
Erlangga, 2008.
Rusman, Model-Model Pada
Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru Edisi 2, Jakarta: Rajawali
Press, 2012.
Suyono, Belajar dan Pembelajaran
Teori dan Konsep Dasar, PT Remaja Rosdakarya: Bandung, 2011.
Wasty, Soemanto, Psikologi
Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan, Jakarta: PT Rineka Cipta,
1998.
Winasanjaya, Pembelajaran dalam
implementasi kurikulum berbasis kompetensi Jakarta: Kencana, 2005.
[1][1]
Winasanjaya, Pembelajaran dalam implementasi kurikulum berbasis kompetensi
(Jakarta:KENCANA,2005), hal 118.
[2][2]
Rusman, Model-Model Pada Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru
Edisi 2 (Jakarta: Rajawali Press, 2012), 201.
[3][3] Dalyono, Psokologi pendidikan
(Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009), 34.
[4][4]
Suyono, Belajar dan Pembelajaran Teori dan Konsep Dasar (PT Remaja
Rosdakarya: Bandung, 2011), 111-115.
[5][5]Ratnawilisdahar, teori-teori belajar dan pembelajaran
(Bandung: Erlangga, 2006), 103.
[6][6] Ormrod, Jeanne., Edisi Ke 6
Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang (Jakarta: Erlangga, 2008), 78.
[7][7]
Ibid., 79.
[8][8] Soemanto, Wasty, Psikologi
Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan ( Jakarta: PT Rineka Cipta,
1998), 89-90.
Dalam dunia pendidikan terutama pada proses pembelajaran saat ini terdapat beragam inovasi baru. Salah satu inovasi tersebut adalah konstruktivisme.
BalasHapusBlog: institusionalisme konstruktivis situs judi
AFNAN :
BalasHapusTHANK FOR NICE INFORMATION, VISIT OUR WEBSITE : https://journal.uhamka.ac.id/index.php/rektek/index
For example if the player’s last hand was 5c, 5d, 5s, 3s, 2nd as the 3s and 2nd sum to 5 the hand could be paid as a four of a Kind. Bob is the most famous professional video poker player round, and his site shares his insights. Once 다파벳 I put $100 into a $0.25 machine and performed it for a while.I performed it method down to} zero credit, after which I hit Four of a Kind, which saved me.
BalasHapus